Kosmologi Jawa

Pengertian Kosmologi

Dalam bahasa Yunani, cosmos berarti keteraturan, keserasian atau keharmonisan, lawan kata dari chaos yang berarti keadaan kacau balau (Hamersma, 1981). Kata kosmos ini digunakan untuk menyebut segala kejadian di alam semesta atau jagad raya yang penuh dengan keteraturan dan keharmonisan (Cox, 1978).

Dalam pengertian luas disebut makrokosmos yang berarti suatu susunan keseluruhan atau kompleks yang dipandang dalam totalitasnya atau sebagai suatu keseluruhan yang aktif serta terstruktur. Arti lain dari makrokosmos adalah alam semesta sebagai sebuah keseluruhan atau sistem yang terpadu dan tunggal. Lawan dari makrokosmos adalah mikrokosmos yaitu bagian kecil dari satu keseluruhan (Asy’ari cit Haryati, 2017).

Kosmologi Jawa

Kosmologi Jawa adalah sebuah konsep tentang kehidupan mistis manusia Jawa yang dipadukan dengan kepercayaan tentang kekuatan-kekuatan supranatural di luar dirinya, baik kekuatan alam maupun Tuhan (S. Pitana, 2007).

Dalam pandangan Jawa, alam semesta disebut jagad gedhe, sedangkan manusia merupakan representasi dari jagad cilik. Diantara keduanya terdapat hubungan erat yang tidak terpisahkan. Hubungan antara jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik (mikrokosmos) inilah yang merupakan manifestasi dari persoalan-persoalan dalam kosmologi Jawa.

Manusia Jawa memiliki konsep tentang kepercayaan, mitos, norma, dan pandangan hidup yang didalamnya terkandung sebuah keyakinan tentang adanya jagad cilik dan jagad gedhe yang berpengaruh pada semua aspek kehidupan karena terdapat kemanunggalan kekuatan (manunggaling kawulo gusti). Kemanunggalan tersebut dapat dimaknai bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar, dengan harapan akan dapat terus dipertahankan dalam rangka meningkatkan kekuatan dirinya. Oleh karena itu, manusia Jawa senantiasa menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos karena seluruh aspek kehidupannya dipengaruhi oleh kedua kekuatan tersebut.

Menurut Mulder (1996), kosmologi Jawa memandang kehidupan di dunia ini sebagai satu kesatuan eksistensi. Segala sesuatu yang ada merupakan satu kesatuan hidup dan memiliki keterkaitan erat dengan kosmos (Wisnumurti, 2012). Bidang-bidang dalam realitas kosmos tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan satu sama lain dan terkoordinasi secara teratur. Dalam kesatuan itu, semua gejala mempunyai tempat dan berada dalam hubungan yang saling melengkapi dan terkait satu sama lain.

Dalam pandangan Magnis-Suseno (1993), kesatuan eksistensi disebut sebagai kesatuan numinus yang meliputi alam empiris, manusia, dan alam adikodrati (metaempiris) yang gaib dan keramat. Setiap peristiwa yang terjadi, tidak semata-mata merepresentasikan apa yang tampak secara material, melainkan representasi transendental—alam gaib yang penuh misteri—tempat dimana manusia menggantungkan diri dan menemukan eksistensinya. Sifat gaib alam merupakan sesuatu yang abstrak dan menyatakan diri melalui kekuatan-kekuatan yang tidak dapat diperhitungkan, oleh manusia dipersonifikasikan sebagai roh-roh.

Hubungan antara alam empiris dengan alam metaempiris merefleksikan dua aspek sekaligus. Pada aspek eksoteris, masyarakat berhubungan dengan alam, sedangkan pada aspek esoteris, masyarakat dan alam berhubungan dengan alam adikodrati.

Dalam pandangan kosmologi Jawa, alam empiris (atau bisa disebut alam lahir) tidak berdiri sendiri karena daya dan kekuatannya berasal dari realitas abstrak yang berada di balik alam empiris (Magnis-Suseno, 1993). Yang sesungguhnya nyata adalah alam metaempiris/batin. Namun alam empiris tidak bersifat semu, melainkan bersifat real meskipun realitasnya dangkal tanpa kekuatan. Orang Jawa menemukan kehidupannya di alam empiris, tempat dimana kekuatan-kekuatan abstrak itu bersemayam.

Kehidupan dalam kesatuan eksistensi, dipandang sebagai suatu eksponen, suatu bayangan (wayangan) dari sesuatu yang lebih tinggi. Kesatuan itu dipahami sebagai suatu keseluruhan yang terkoordinasi dan sebagai tatanan yang terintegrasi secara hirarkis serta tunduk pada hukum kosmis yang tidak terelakkan (ukum pinesthi) (Mulder 1996). Ukum pinesthi merupakan bagian dari sebuah perencanaan besar yang di dalamnya tersusun secara teratur. Segala sesuatu yang terjadi merupakan sebuah keharusan, bukan kebetulan semata, karena setiap unsur terkoordinasi dan terintegrasi secara universal dengan semua gejala dalam kosmos. Manusia harus menyesuaikan diri dan hidup selaras dengan hukum alam, melewati garis yang sudah ditetapkan dan tidak bisa mengelak dari apa yang sudah digariskan.

Orang Jawa tidak memandang adanya perbedaan antara sikap religius, sikap terhadap alam, dan interaksi sosial di masyarakat (Magnis-Suseno, 1993; Bustomi, 1995). Jika manusia mengganggu keselarasan sosial, maka secara kosmis, dia membahayakan dirinya sendiri dan anggota masyarakat lainnya. Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh manusia adalah menjaga tatanan sosial dan keteraturan kosmis. Masyarakat seperti itu merupakan cita-cita Jawa, sebuah keadaan Tata Tentrem Karta Raharja.

Orang Jawa tidak akan gegabah dalam bertindak, karena setiap permasalahan tidak terbatas pada dimensi sosial alamiah, melainkan selalu berhubungan erat dengan dimensi metaempiris. Dalam setiap tindakannya, seseorang dituntut bersikap sedemikian rupa sehingga tidak bertabrakan dengan dimensi metaempiris dimana hukum kosmis berlaku di dalamnya. Bagi orang Jawa, hidup selaras dengan alam merupakan sebuah keutamaan, dimana manusia mampu menempatkan dirinya dalam keseluruhan tatanan alam semesta secara selaras (Herusatoto, 2012).

Pergulatan manusia dengan alam empriris (lahir) memungkinkan manusia menemukan kesadaran diri dengan menyelami keadaan batinnya sendiri. Kesadaran ini bukan semata-mata teori mistik yang bersifat spekulatif, melainkan sungguh-sungguh dialami sebagai pengalaman spiritual mendalam melalui rasa (rasa).

Dalam pandangan Magnis-Suseno, (1993) rasa bermakna merasakan dalam segala dimensi perasaan, yang meliputi: perasaan inderawi, perasaan akan kedudukannya dalam medan interaksi, perasaan kesatuan dengan alam semesta, perasaan penentuan eksistensi diri melalui takdir, dan pada akhirnya kesadaran akan keakuannya sendiri. Melalui rasa, ruang numinus terbuka lebar bagi manusia untuk diselami, karena rasa juga berarti éling (ingat) akan asal usul diri sendiri, yakni Yang Ilahi.

Berbagai dimensi rasa dalam ruang numinus, mengantarkan manusia pada titik puncak dan pusat segala sesuatu yakni Yang Maha Esa yaitu “Hidup” (urip) dari mana semua eksistensi berasal dan kepada-Nya harus kembali. Pengetahuan itu disebut kawruh sangkan paraning dumadi (pengetahuan tentang asal dan tujuan segala apa yang diciptakan). “Urip” itu sendirilah yang menghidupkan susunan alam semesta. Susunan alam semesta bersifat hierarkis, berawal dari eksponen eksistensi yang paling kasar sampai manifestasi yang lebih halus, dan lebih dekat kepada hakikat kebenaran. Hakikat itu biasa disebut “Tuhan”, tetapi apapun sebutannya, ia tetap merupakan sesuatu yang paling rahasia, paling samar-samar dan paling hakiki dari semua gagasan (Mulder, 1996; Magnis-Suseno, 1993).

Semakin manusia menghayati diri sebagai bagian dari alam semesta dan alam bermanfaat baginya, maka manusia akan menemukan keseimbangan batin melalui segi-segi lahiriah alam semesta. Dengan demikian, seseorang akan merasa memiliki kewajiban moral untuk menghormati alam dan segala sesuatu di dalam keseluruhan hierarki kosmos. Mereka akan menerima kehidupan sebagaimana adanya dengan mengikuti keselarasan irama alam untuk menumbuhkan kedamaian jiwa dan ketenangan emosi. diri kepada Tuhan, berdamai dengan alam, memahami keseimbangan jagad raya, bersikap rendah hati, dan melihat alam sebagai sumber ajaran dan pelajaran bagi manusia.

Sumber :

Bustomi, Suwaji. 1995. “Seni dan Budaya Jawa”. Semarang: IKIP Semarang Press.

Cox, Harvey. 1987. “The Secular City”. New York: Macmillan Publishing.

Hamersma, Harry. 1981. “Pintu Masuk ke Dunia Filsafat”. Yogyakarta: Kanisius.

Haryati, Tri Astutik. 2017. “Kosmologi Jawa Sebagai Landasan Filosofis Etika Lingkungan”. http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Religia/article/download/1026/1225. Diakses tanggal 1 Oktober 2021.

Herusatoto, Budiono. 2011. “Mitologi Jawa”. Depok: ONCOR Semesta Ilmu.

Kartodirjo, Sartono, dkk. 1987. “Perkembangan Peradaban Priyayi”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kattsoff, Louis O. 1992. “Pengantar Filsafat”, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, dari “Elements of Philosophy”. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Magnis-Suseno, Franz. 1993. “Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa”. Jakarta: Gramedia.

Mulder, Niels. 1996. “Pribadi dan Masyarakat Jawa”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

S. Pitana, Titis. 2007. “Reproduksi Simbolik Arsitektur Tradisional Jawa: Memahami Ruang Hidup Material Manusia Jawa”, dalam Jurnal Gema Teknik, 2 (Juli)/X, 126-133

Wisnumurti, Rangkai. 2012. “Sangkan Paraning Dumadi Konsep Kelahiran dan kematian Orang Jawa”. Yogyakarta: DIVA Press.

  • Post category:Berita/Artikel
  • Reading time:10 mins read