
Filsafat Jawa berisi tentang nilai-nilai luhur kehidupan yang telah diwariskan secara turun-temurun di dalam tradisi kebudayaan Jawa. Salah satunya adalah Hamemayu Hayuning Bawana.
Hamemayu Hayuning Bawana terdiri dari tiga kata, yaitu Hamemayu berarti memperindah, menjaga, melestarikan. Hayu berarti keindahan, kecantikan, sedangkan Bawana berarti dunia yang kita tempati. Jadi, Hamemayu Hayuning Bawana bisa diartikan menjadi Memperindah Keindahan Dunia. Orang Jawa memandang konsep ini tidak hanya sebagai falsafah saja, tapi juga sebagai pedoman dalam menjalankan hidup yang mengandung nilai-nilai budi pekerti luhur yang harus dimiliki oleh setiap orang.
Untuk mencapai nilai-nilai yang terdapat dalam filosofi Hamemayu Hayuning Bawana dalam kehidupan butuh pengalaman yang nyata, karena kesempurnaan budi pekerti hanya bisa didapat melalui pengalaman. Pencapaian Hamemayu Hayuning Bawana diraih oleh orang Jawa melalui prihatin, yaitu hidup dengan penuh susah payah, hingga akhirnya mencapai puncak. Puncak inilah yang diyakini sebagai keselamatan hidup.
Hamemayu Hayuning Bawana menurut Para Ahli
Suwardi Endraswara (2013: 15), mengemukakan bahwa orang Jawa telah memiliki sandaran bertindak yang benar-benar cerdas, yang merupakan rangkuman perisai hidup yaitu “memayu hayuning bawana”. Menurut Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous (2009: xiv), sebagai idiologi dalam sistem budaya adalah sebuah keyakinan yang juga alat pembenaran (justification) dan akses dalam memakai berbagai sumber daya kemasyarakatan (sosio-political-resources) yang ada. Lebih lanjut dikemukakan oleh Bambang Widianto dan Iwan Meulia Pirous (2009: xx), bahwa beberapa individu maupun kelompok yang memanfaatkan sumber daya alam telah memiliki program atau rangkaian rencana kegiatan yang ada di sekitarnya. Selain itu ada juga pemanfaatan lain yang secara historis telah ada sejak lama dan yang melaksanakan pemanfaatan telah sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis.
Suwardi Endraswara (2013: 17), mengemukakan bahwa “memayu hayuning bawana” memang upaya melindungi keselamatan (kesejahteraan) dunia baik lahir maupun batin, dunia dalam hal ini identik dengan bawana.
Koentjaraningrat (1984: 435) dalam Suwardi Endraswara (2013: 17), menyinggung pula tentang “memayu hayuning bawana” pada bab hubungan antara manusia dengan alam, dimana orang Jawa merasa berkewajiban untuk “memayu hayuning bawana” atau memperindah keindahan dunia, karena hanya inilah yang memberi arti pada hidup.
Di satu pihak orang menganggap secara harfiah, bahwa manusia harus memiliki kesadaran untuk memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya yakni pekarangan sekitar rumah, desa, dan sebagainya. Secara abstrak, bahwa orang wajib memelihara serta memperbaiki lingkungan spiritualnya, yaitu adat, tata cara serta cita-cita dan nilai-nilai pribadi. Pandangan ini memberikan dorongan bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungannya. Orang Jawa menyebutkan bahwa manusia hendaknya arif lingkungan, tidak merusak, dan tidak berbuat semena-mena.
Sumber :
Nasruddin Anshory dan Sudarsono. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Suwardi Endraswara. 2013. “Memayu Hayuning Bawana : Laku Menuju Keselamatan dan Kebahagiaan Hidup Orang Jawa”. Yogyakarta : NARASI (Anggota Ikatan Penerbit Indonesia)